BANALITAS DEMOKRASI
(sumber : kompas)
Jean Jacques Rousseau adalah seorang filsuf romantik yang menuliskan pemikiran politiknya dalam sebuah buku penting berjudul Du Contract Social yang secara serius meninjau politik dari eksperimentasi empirik dan kemudian memicu revolusi agung di Prancis, 14 Juli 1789.
Rouseau dalam bukunya menegaskan “demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang sempurna dan hanya rakyat yang terdiri dari dewa – dewa saja yang dapat diperintah secara sempurna”. Mengapa ia tidak percaya dengan demokrasi? Setidaknya ada 3 alasan mendasar yang diajukan. Pertama, pemimpin yang terpilih dalam sebuah proses demokrasi tidak lagi memiliki kehendak individual dan hanya punya satu kehendak, yaitu kehendak umum. Kedua, semua representatif hasil demokrasi berupa legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah sekumpulan makhluk moral. Ketiga, beban sosial yang ditanggung rakyat semakin rendah karena orientasi kesejahteraan ada pada rakyat.
Pemimpin yang terpilih dari sebuah proses demokrasi adalah representasi kehendak umum. Pernyataan tersebut secara tegas mempersoalkan bahwa ada prbedaan mendasar antara kehendak pribadi dan kehendak sosial. Maka, siapa pun yang terpilih dalam sebuah proses demokrasi dan mengambil keputusan secara individual atau kelompok yang terbatas adalah bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan.
Pada pernyataan kedua semua unsur produk demokrasi seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah orang – orang yang terikat sikap moral tinggi. Mereka adalah makhluk –makhluk moral yang tidak berkehendak untuk memainkan kebebasan individual dan segala kepentingan kelompoknya utnuk mencederai kehendak umum rakyat.
Pada asumsi ketiga, jelas sekali ia ingin membedakan posisi rakyat pada sistem pemerintahan monarki dengan demokrasi. Pada monarki, beban rakyat sangat berat karena rakyat harus bekerja keras untuk kekayaan negara yang dikuasai sekelompok elite. Sementara itu, dalam demokrasi, negaralah melalui sekelompok manusia yang dipilih secara moral yang bekerja keras menyejahterkan rakyat.
Dengan menilik pemikiran Rouseau, jelas sekali kita dapat memahami mengapa ia menegaskan bahwa demokrasi seharusnya melahirkan manusia yang memegang teguh kehendak umum rakyat dan dapat dipercaya sebagai makhluk moral yang mengendalikan tiga pilar kekuasaan politik secara spiritual.
Demokrasi awalnya dikonstruksikan untuk menggantikan bentuk pemerintahan monarki. Maka, demokrasi yang paling banal adalah demokrasi yang justru melahirkan individu aristokrat. Secara tegas, Rouseau menjelaskan, dalam monarki, kekuatan umum melekat pada kekuatan pribadi, kehendak umum terikat pada kehendak individu.
Siapa yang paling berperan dalam sirkulasi moral dan kehendak umum dalam demokrasi di Indonesia? Tentu dengan mudah kita akan menemukan titik rotasi politik dan demokrasi pada partai politik. Bayangan Rouseau tentang parpol adalah sebuah institusi moral yang melahirkan makhluk – makhluk moral dan pemimpin – pemimpin yang kehilangan kehendak pribadinya dan hanya memiliki kehendak umum rakyat dalam dirinya.
Gagal memainkan peran
Jika kita menilik situasi demokrasi di Indonesia, setidaknya hasil dari pemilu 2009 menunjukan jelas sekali parpol gagal memainkan peran sebagai institusi moral dan produsen kehendak umum rakyat. Celakanya, parpol memainkan peran mendasar dalam proses demokrasi.
Kekuasaan politik apa yang tidak disentuh oleh parpol? Presiden sebagai makhluk kehendak umum tertinggi diajukan oleh parpol. Legislator – legislator dalam semua tingkatan ditawarkan melalui keanggotaan – keanggotaan parpol. Melalui legislator dan presiden, kepentingan parpol – parpol mengalir dalam penentuan jabatan yudikatif.
Pada konteks tersebut, parpol adalah pusaran bersar politik yang “memblender” prinsip – prinsip trias poltika yang diajukan oleh Montesquieu menjadi satu kesatuan yang justru tak terpisahkan. Bayangan Montesquieu bahwa trias politika akan melahirkan sebuah mekanisme kontrol yang menjaga titik moral antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif dengan nyata terbantahkan di Indonesia.
Di Indonesia, kepentingan parpol memainkan peran monarki terselubung dan membuat nihil dan absurdnya moralitas politik di Indonesia, lalu tentu saja membuat tidak jelasnya transaksi kehendak umum dalam proses demokrasi. Satu – satunya kekuasaan rakyat sebagai representatif kehendak umum hanya pada saat melakukan pemilihan politik dibilik suara. Segera setelah bilik suara dibuka dan dihitung, kehendak umum berpindah pada kehendak pribadi.
Itulah sebabnya pusaran politik di Indonesia selalu sulit di tebak dari sisi rakyat. Logika dan segala bentuk silogisme apa pun akan kacau dalam memahami logika dan silogisme politik di Indonesia. Banalnya demokrasi kita dan punahnya makhluk – makhluk moral membuat negara ini lebih menyerupai monarki yang dipenuhi “serigala – serigala” . Machivelian yang banyak beredar dalam belantara trias politika. Banalnya politik di Indonesia membuat rakyat hanya bisa bertanya, “kapankah parpol bisa menjadi pabrik moral yang mengusung kehendak rakyat?”. Tentu dengan harapan yang tak banyak tersisa.
Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar