KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF
Di Multazam, Yudi Latif (seorang pemikir kenegaraan dan keagamaan) merapatkan tubuh ke dinding ka’bah, yang pertama terlintas dalam doanya adalah Indonesia “Ya Allah, jadikan negeriku tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan kebahagiaan. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya sendiri”. Seperti Nabi Ismail yang siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima rombongan Yudi Latif terasa tajam menusuk kalbu. “Indonesia tempat bermukim seperlima pemeluk Muslim dunia dengan segala kekayaan alamnya, terlalu penting untuk dilupakan dan terlalu menjajikan untuk disia – siakan”.
Ada percik kebenaran dalam ucapannya. Sekedar berbekal minyak, Arab Saudi nan tandus dengan kepemimpinan otoritarian, toh masih sanggup menghadirkan kesejahteraan bagi warganya. Ketika Raja Fahd dibuatkan istana di sebuah bukit pinggir kota Madinah, masih tersisa kearifan tradisional yang menggugah keinsyafannya. “Bagaimana mungkin saya tinggal di atas bukit, sedangkan rakyatku bermukim dibawah sana.”
Sedangkan Indonesia negeri yang subur dengan kepemimpinan demokratis yang seharusnya memuliakan daulat rakyat, bayangan yang segera terlintas adalah barisan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang miskin perlindungan dan murah. Dalam pesawat yang membawa pulang, seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang mengalami gangguan ingatan (yang menurut para pramugari merupakan fenomena yang lumrah), secara ngelantur menyebut Indonesia sebagai “Ibu Pertiwi yang tega menyembelih anak – anaknya sendiri”.
Setelah demokratisasi berjalan 11 tahun tanpa perbaikan kualitas hidup, mestinya terbit kesadaran lain bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan. Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani dengan keadilan. Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur.
Antiteori
Jauh – jauh hari para pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville, mewanti – wanti kemungkinan munculnya bentuk tirani yang lain dalam demokrasi, yakni tirani mayoritas. Namun dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, yang muncul tetap saja tirani minoritas, yakni tirani pemodal yang bersekutu dengan oligarki kepartaian.
Jika persolan demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan, isu utamanya bukan pergantian elite politik dan prosedur politik, melainkan pada kapasitas transformatif dari kekuasaan. Bagaimana mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Malangnya, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi di Indonesia belum menyentuh aspek ini sehingga upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.
Dalam hal ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, perlu dicatat bahwa tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim. Seperti dikatakan oleh Montesquleu dan Max Weber, kepemimpinan merupakan suatu fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup, dan kepentingannya, tergantung pada perkembangan masyarakat. Konsekuensinya, kekuasaan dan fokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.
Masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar dibanding masa normal dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin – pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik.
Namun, perkembangan antiteori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis terus memagut, tetapi pemimpin – pemimpin karismatik tak kunjung muncul, atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Yang muncul justru pemimpin yang mengagungkan gebyarnya lahir, tanpa nurnya keberanian, keadiluhungan, kebenaran, dan keadilan, apa yang disebut Buya Syafi’i Maarif, kecenderungan “kepura – puraan” dan gejala “mati rasa”. Seyogianya setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan adalah penggembala yang menuntun dan memperjuangkan orang – orang yang dipimpinnya.
Dalam suatu kesempatan, setelah dirinya dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan pos Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan getir,
“Kedepan, tidak boleh ada lagi pemimpin yang mengorbankan anak buahnya.” Kegetiran itu menyiratkan bahwa krisis karakter dalam kepemimpinan kita. Krisis kepemimpinan yang terjadi di era reformasi ini karena lebih mengandalakan sumber daya “alokatif” ketimbang “otoritatif”. Bahkan yang terjadi adalah fenomena munculnya pemimpin – pemimpin dengan tipologi merip Ken Arok yang rela mengorbankan / mengkhianati atasan ataupun rekan seperjuangan dan seiring mereka, Ken Arok yang satu akan merekrut “Ken Arok – Ken A rok” lainnya.
Titik Nol
Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itulah sebabnya mengapa new deal harus diperjuangkan dengan kemunculan new dealers. Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama.
Seperti kata Vaclav Havel, “Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri”. Dengan jiwa para pemimpin yang kerdil apalagi “mati rasa”, kekayaan alam hanya akan menjadi sumber kutukan.