Sabtu

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

Di Multazam, Yudi Latif (seorang pemikir kenegaraan dan keagamaan) merapatkan tubuh ke dinding ka’bah, yang pertama terlintas dalam doanya adalah Indonesia “Ya Allah, jadikan negeriku tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan kebahagiaan. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya sendiri”. Seperti Nabi Ismail yang siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima rombongan Yudi Latif terasa tajam menusuk kalbu. “Indonesia tempat bermukim seperlima pemeluk Muslim dunia dengan segala kekayaan alamnya, terlalu penting untuk dilupakan dan terlalu menjajikan untuk disia – siakan”.

Ada percik kebenaran dalam ucapannya. Sekedar berbekal minyak, Arab Saudi nan tandus dengan kepemimpinan otoritarian, toh masih sanggup menghadirkan kesejahteraan bagi warganya. Ketika Raja Fahd dibuatkan istana di sebuah bukit pinggir kota Madinah, masih tersisa kearifan tradisional yang menggugah keinsyafannya. “Bagaimana mungkin saya tinggal di atas bukit, sedangkan rakyatku bermukim dibawah sana.”

Sedangkan Indonesia negeri yang subur dengan kepemimpinan demokratis yang seharusnya memuliakan daulat rakyat, bayangan yang segera terlintas adalah barisan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang miskin perlindungan dan murah. Dalam pesawat yang membawa pulang, seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang mengalami gangguan ingatan (yang menurut para pramugari merupakan fenomena yang lumrah), secara ngelantur menyebut Indonesia sebagai “Ibu Pertiwi yang tega menyembelih anak – anaknya sendiri”.

Setelah demokratisasi berjalan 11 tahun tanpa perbaikan kualitas hidup, mestinya terbit kesadaran lain bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan. Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani dengan keadilan. Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur.

Antiteori

Jauh – jauh hari para pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville, mewanti – wanti kemungkinan munculnya bentuk tirani yang lain dalam demokrasi, yakni tirani mayoritas. Namun dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, yang muncul tetap saja tirani minoritas, yakni tirani pemodal yang bersekutu dengan oligarki kepartaian.

Jika persolan demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan, isu utamanya bukan pergantian elite politik dan prosedur politik, melainkan pada kapasitas transformatif dari kekuasaan. Bagaimana mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Malangnya, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi di Indonesia belum menyentuh aspek ini sehingga upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.

Dalam hal ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, perlu dicatat bahwa tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim. Seperti dikatakan oleh Montesquleu dan Max Weber, kepemimpinan merupakan suatu fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup, dan kepentingannya, tergantung pada perkembangan masyarakat. Konsekuensinya, kekuasaan dan fokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.

Masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar dibanding masa normal dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin – pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik.

Namun, perkembangan antiteori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis terus memagut, tetapi pemimpin – pemimpin karismatik tak kunjung muncul, atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Yang muncul justru pemimpin yang mengagungkan gebyarnya lahir, tanpa nurnya keberanian, keadiluhungan, kebenaran, dan keadilan, apa yang disebut Buya Syafi’i Maarif, kecenderungan “kepura – puraan” dan gejala “mati rasa”. Seyogianya setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan adalah penggembala yang menuntun dan memperjuangkan orang – orang yang dipimpinnya.

Dalam suatu kesempatan, setelah dirinya dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan pos Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan getir,

“Kedepan, tidak boleh ada lagi pemimpin yang mengorbankan anak buahnya.” Kegetiran itu menyiratkan bahwa krisis karakter dalam kepemimpinan kita. Krisis kepemimpinan yang terjadi di era reformasi ini karena lebih mengandalakan sumber daya “alokatif” ketimbang “otoritatif”. Bahkan yang terjadi adalah fenomena munculnya pemimpin – pemimpin dengan tipologi merip Ken Arok yang rela mengorbankan / mengkhianati atasan ataupun rekan seperjuangan dan seiring mereka, Ken Arok yang satu akan merekrut “Ken Arok – Ken A rok” lainnya.

Titik Nol

Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itulah sebabnya mengapa new deal harus diperjuangkan dengan kemunculan new dealers. Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama.

Seperti kata Vaclav Havel, “Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri”. Dengan jiwa para pemimpin yang kerdil apalagi “mati rasa”, kekayaan alam hanya akan menjadi sumber kutukan.


Bidang Hikmah 2010/2011

Diorama Panggung Ideologi Negara

Diorama Panggung Ideologi Negara

Dalam proses perebutan kontinuitas ideologi sebuah negara, diperlukan keberlanjutan generasi terus-menerus untuk memenangkan kontes panggung kenegaraan ini. Maka tidak bisa dinafikan lagi kalau perguliran kaderisasi antara satu stock generasi ke stock generasi selanjutnya harus terus dilakukan untuk dapat tetap berdiri dipentas tersebut.

Tidak hanya sampai disitu, kapabilitas setiap generasi penerus pun harus lebih ditingkatkan lagi untuk tetap mempertahankan daya tawar ideologinya. Hanya ideologi yang dapat mengkombinasikan keberlanjutan dan daya kompetisinya lah yang dapat bertahan jauh lebih lama.

Generasi tanpa ada komando pemimpin adalah bagai anak ayam yang lepas dari kandangnya. Mereka mungkin bisa berkembang sendiri, namun gerakannya tidak bersifat efektif dan masif karena tidak terorganisasi dengan baik. Disinilah peran seorang pemimpin menjadi sangat penting. Karena dialah yang nantinya melakukan mobilitas generasi-generasi penerusnya di berbagai sektor publik, dan privat. Dia jugalah yang akan melakukan mobilitas pengikutnya secara vertikal maupun secara horisontal.

Untuk itu, proses kepemimpinan tidak boleh dipandang sebelah mata atau serampangan. Dengan menjadi seorang pemimpin, maka dia akan dengan mudah membuat dan mengarahkan kebijakan negeri ini agar dapat sesuai dengan apa yang telah dia ideologikan.

Pemimpin bangsa yang baik harus dipersiapkan sedini mungkin. Banyak para kelompok ideologi yang melirikan pandangannya pada mahasiswa kampus sebagai sasaran yang empuk untuk direkrut dan dipersiapkan menjadi seorang pemimpin. Harapannya, mereka mampu mengusung ideologinya dimasa depan nanti.

Mahasiswa adalah kaum elite yang memiliki paradigma berbeda alih-alih masyarakat seperti biasanya. Disana mereka mendapatkan pendidikan yang tinggi, sehingga menyebabkan mereka memiliki modal yang besar untuk melakukan mobilisasi secara vertikal, yang akhirnya mengantarkan mereka ke posisi-posisi strategis sebagai penentu kebijakan.

Jika menilik kehidupan mahasiswa Indonesia saat ini, tampaknya mahasiswa Indonesia terbagi menjadi beberapa tiga kelompok utama. Yang pertama adalah golongan idealis. Golongan idealis adalah golongan yang memiliki pemahaman ideologi kenegaraan yang baik sehingga mereka menyadari sekali peran mereka sebagai calon generasi masa depan (iron stock), penjaga nilai-nilai (guardian of value), dan agen perubahan (agent of change) ideologi yang mereka pegang. Mereka tidak hanya berkata dan beretorika di kampus mereka saja, namun mereka bergerak nyata lewat kompetensi yang mereka miliki untuk memperjuangkan ideologinya. Bisa dengan turun ke jalan, dengan berdiplomasi secara lisan, atau bisa juga dengan media tulisan.

Golongan yang kedua adalah golongan oportunis. Golongan ini adalah golongan pandai memanfaatkan waktu atau peluang berdasarkan sumber daya atau kapabilitas yang dimilikinya demi tujuan yang mereka inginkan, namun dengan cara yang tidak etis.

Pemahaman ideologi mereka mungkin sama dengan golongan idealis, namun mereka mencari kesempatan dalam kesempitan dan keuntungan untuk dirinya saja. Mereka akan memanfaatkan pemahaman ideologi mereka, hanya dan hanya jika sama atau setidaknya mendekati tujuan mereka. Jadi ketika mereka bergerak atas nama rakyat, mereka sangat memperhitungkan untung atau rugi yang akan mereka dapatkan.

Golongan yang terakhir adalah golongan apatis. Golongan ini benar-benar kehilangan simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu ideologi. Mereka sama sekali tidak peduli terhadap gerakan mahasiswa yang ada dikampusnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan bertambahnya golongan ini, diantaranya adalah ketidakfahaman mereka atas berbagai ideologi kenegaraan dan yang kedua adalah trauma pikiran mereka akibat realita pergerakan mahasiswa yang cenderung anarkis dan keras.

Dengan demikian, pemimpin kelompok ideologi suatu bangsa perlu dengan cermat memilih dan memilah golongan-golongan mahasiswa mana yang berpotensi menjadi generasi pengganti mereka. Karena di dunia pasca kampus, merekalah yang akan menjadi calon pemimpin bangsa di masa depan nanti. Dan kesalahan memilih pemimpin masa depan, akan memberikan kesalahan berdampak sistemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kurikulum dan pembelajaran terstruktur dari kelompok ideologi tersebut, calon pemimpin diasingkan dari komunitas masyarakat sekitarnya, untuk melakukan proses pembersihan paradigma dan karakter lama akibat pengaruh buruk lingkungannya, sehingga dapat menjadi paradigma dan karakter baru. Kemudian diharapkan mereka dapat kembali ditebar dan ditabur kembali kedalam lingkungan masyarakat untuk memberikan pengaruh disana.

Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis dalam konteks interaksi bangsa-bangsa, jumlah penduduk yang fantastis dengan tingkat pendidikan dan kualitas pola pikir yang sedang-sedang saja, sumber daya alam melimpah dengan penguasaan teknologi yang alakadarnya, birokrasi yang koruptif, kesenjangan antar-strata social dan antar wilayah yang parah, dan lebih dari segalanya, merupakan komunitas muslim terbesar di dunia.

Maka, kata John Perkins, kita adalah salah satu cerita sukses the economic hit team Negara adidaya, dan bukannya tidak mungkin akan disusul the jackals dan invasion. Melihat berbagai kompleksitas masalah bangsa ini, hanya kelompok ideologi yang mampu melakukan transformasi negara saja yang mampu meningkatkan kualitas negara ini menjadi lebih baik dan bermartabat.

Hanya kelompok ideologi yang berlandaskan kebenaranlah yang akan memenangkan diorama panjang kompetisi ini. Karena kebenaran sesuai dengan fitrah manusia. Dan manusia lebih mudah menerima kebenaran. Kelompok ideologi yang tersusupi kepentingan segolongan tertentu, tidak akan menang karena lambat laun, pasti rakyat akan segera sadar dan mengetahui kebobrokan sistem ideologi mereka karena ideologi kebenaran akan mengupas rahasia tersebut. Dan ini hanyalah masalah waktu.


Bidang Hikmah 2010/2011

Kontrak Politik Direvitalisasi Lagi

Kontrak Politik Direvitalisasi Lagi
(SUMBER : WWW.KOMPAS.COM)

Pertemuan empat mata antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, Selasa (8/3) sore di Wisma Negara, Kompleks Istana, Jakarta, menyepakati partai berlambang pohon beringin itu tetap berada dalam koalisi partai pendukung pemerintah.

Namun, untuk memperteguh koalisi di pemerintah dan legislatif, keduanya menyepakati untuk merevitalisasi kontrak politik antara Partai Golkar dan partai-partai politik koalisi lainnya yang mendukung pemerintah.

"Revitalisasinya seperti apa, saya belum tahu. Saya hanya bergabung setelah selesainya pertemuan empat mata antara Presiden dengan Pak Ical. Yang jelas, jelas Partai Golkar akan tetap berada dalam koali si dan akan dilakukannya revitalisasi dalam koalisi," tandas Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto kepada Kompas di Jakarta, Selasa petang.

Ditanya mengenai kelanjutan isu reshuffle kabinet dari pertemuan keduanya, Djoko mengaku tidak tahu menahu. Saya, kan, tidak ikut pertemuan, hanya masuk di akhir pertemuan. Jadi, tidak tahu soal reshuffle, kelit Djoko.

PAN Bersyukur

Adapun menurut Menteri Koordinator Perekonomian, yang juga Ketua DPP Partai Amanant Nasional Hatta Radjasa, pihaknya meras a bersyukur Partai Golkar tetap bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah. Namun, ia mengingatkan agar Partai Golkar tetap menjaga koridor yang sama untuk tetap menjaga soliditas dalam prinsip dengan partai koalisi pemerintah lainnya.

"Koridor itu tidak perlu dirumuskan satu per satu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, sebuah garis maya yang disepakati bersama di antara partai-partai koalisi lainnya, termasuk Partai Golkar. Nah, di situlah sikap kenegarawanan kita sebagai pol itisi dalam wadah koalisi diuji," tandas Hatta lagi.

Tentang revitalisasi dalam kontrak politik partai-partai pendukung pemerintah, Hatta mengaku belum tahu. Tentu, Presiden Yudhoyono akan membicarakannya lagi bersama-sama dengan partai-partai politik koalisi lainnya tentang hal itu, tambahnya.

Hatta mengaku belum tahu mengenai rencana pertemuan Presiden Yudhoyono dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti halnya pertemuan antara Presiden Yudhoyono dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar. Jadi, saya juga tidak tahu soal reshuffle kabinet, lanjutnya.

Sebelumnya, Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menyatakan, selain bersepakat Partai Golkar tetap berada dalam partai koalisi pendukung pemerintah, Partai Golkar juga menginginkan adanya kesepakatan politik baru dalam kontrak politik yang akan menegaskan adanya jaminan Partai Golkar untuk tetap dapat mengkritisi pemerintah di legislatif.

Bagi Partai Golkar, pertemuan itu seperti sebuah antiklimaks bagi kisruh politik reshuffle yang ternyata hanya gertak sambal belaka. Sebab, seperti kami duga, Presiden itu tidak akan melepas Partai Golkar demi untuk kestabilan pemerintahannya, kata Bambang lagi.


Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

Jumat

Ketika Rakyat Tidak Puas dengan Kinerja Wakil Rakyat di DPD/DPR/MPR, Rakyat Bisa Menarik Wakil Mereka Kembali

Ketika Rakyat Tidak Puas dengan Kinerja Wakil Rakyat di DPD/DPR/MPR, Rakyat Bisa Menarik Wakil Mereka Kembali

(SUMBER : WWW.KOMPAS.COM)

Di dalam sistem presidensial, kekuasaan eksekutif itu terpisah dengan legislatif dan tidak ada status yang tumpang tindih antara dua (2) badan tersebut. Dalam sistem presidensial, ketika presiden (selaku pemimpin eksekutif) melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan melalui pemakzulan dari badan legislatif. Tetapi, badan legislatif tidak bisa dimakzulkan oleh badan eksekutif.

Yang ingin saya sampaikan adalah dikalau kita sebagai rakyat tidak puas dengan kinerja rakyat di DPR/DPD/MPR (karena pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal), sebenarnya ada cara untuk menarik mereka kembali karena sudah tidak mewakili aspirasi rakyat. Di UUD 1945 ada beberapa pasal tentang pemakzulan Presiden/Wakil Presiden, tetapi saya kurang tahu apakah ada juga pasal tentang cara penarikan anggota DPR, DPD dan MPR. Mungkin ada teman-teman yang bisa memberikan petunjuk. Dan kalau misalnya tidak ada, saya menghimbau kepada wakil rakyat di legislatif untuk rendah hati mau memasukkan pasal ini untuk memperkuat integritas “check and balance”.

Sebagai informasi saja, negara-negara seperti Amerika Serikat, Filipina dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah mempunyai model sistem presidensial yang sama dengan Indonesia. Dengan dari itu, saya bica memberikan contoh dimana anggota legislatif bisa ditarik:

· Semua anggota legislatif merupakan wakil rakyat yang dipilih di wilayah mereka masing-masih. Dengan begini, misalnya anggota A berasal dari daerah pemilihan B, jadi masyarakat dari daerah pemilihan B bisa mengajukan petisi dengan membutuhkan tanda tangan sebesar mayoritas dari daerah pemilihan (biasanya persentase tertentu dari pemilih dalam PEMILU terakhir).

· Kalau sudah mencapai mayoritas, KPU akan menggelar PEMILU untuk mengetahui apakah penarikan diperlukan apa tidak (dengan jawaban “Ya” atau “Tidak” di surat suara). Dan kalau benar masyarakat di daerah sudah tidak percaya, lalu KPU akan menarik anggota legislatif tersebut dan menyelenggarakan PEMILU lagi untuk mencari wakil rakyat yang baru di wilayah tersebut.

Mungkin dari sini saja, kita bisa lihat prosesnya akan lama dan sulit. Secara historis juga, belum ada penarikan wakil rakyat yang sukses.

Jadi kalau kita sudah melihat wakil rakyat yang tidak mewakili aspirasi rakyat, kita bisa menggunakan hak petisi penarikan. Sekali lagi, opini ini bukan bermaksud untuk menghasut atau politisasi, tetapi untuk pencerahan buat kita semua bahwa rakyatlah sebenarnya yang paling kuasa di dalam menentukan mana yang terbaik untuk bangsa. Jadi seharusnya kita semua bisa lebih waspada dengan kinerja badan legislatif dan eksekutif karena kita bisa meminta para anggota legislatif untuk memakzulkan anggota eksekutif, dan kita bisa juga menarik anggota legislatif.

Semoga bermanfaat.

Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

DPR = Dewan Penghianat Rakyat

DPR = Dewan Penghianat Rakyat
(SUMBER : WWW.KOMPAS.COM)


Sudah menjadi perbincangan memuakan klo soal DPR. Terutama atas sikap yang sama sekali tidak pro rakyak membuat masyarakat Benci dan dan kehilangan sosok figur Pemerintah.

DPR yang secara fungsional menjadi wakil rakyat untuk membawa keadilan dan kesejahteraan rakyat ternyata hanya mementingkan NAFSU dan PERUT sendiri saja. hal ini bukan sebuah Fitnah atau tuduhan tanpa dasar.

Seperti yang saat ini banyak di informasikan di media tentang rencana Pembangunan Gedung DPR yang awalnya di niatkan berukuran 111 m2 untuk setiap ruangan dengan Kolam renang, Tempat SPA dan ruang istirahat yang cukup. Lah ini mau kerja atau mau Besarin Perut?

Rencana awal gedung itu akan menghabiskan dana 1,8 Triliun Rupiah dan saat masyarakan memprotes karena biaya tersebut terlalu mahal. DPR mendiskon menjadi 1,38 Triliun saja saat ini.

Sedangkan kisaran anggaran untuk tiap2 ruangan DPR kisaran menghabiskan dana sekitar 800 Juta belum termasuk Mebel dan laptop (Detiknews.com 5/4/2010).. bener bener deh, padahal dengan setengah dari dana tersebut yang notabene untuk perorangan bisa untuk membuatkan 10 rumah sederhana untuk para gelandangan.

Awalnya nyaris tak ada penolakan dari Para Anggota DPR terkait rencana tersebut. Namun belakangan ini, beberapa Fraksi berbalik arah. Tidak aneh, karena Mereka hanya mementingkan Citra di mata masyarakat.

Pasalnya, kalau perubahan itu muncul pada awal perencanaan tersebut. mungkin masyarakan akan mengacungi 4 Jempol untuk yang menolak. Tapi karena mereka berubah fikiran atau berubah Topeng tatkala berbagai komponen masyarakat rama ramai memprotes hal tersebut..

Meski Demikian, beberapa anggota DPR tetep ngotot mempertahankan Rencana yang tidak Pro Rakyat itu termasuk Ketua DPR Marzuki Alie yang bersikeras bahwa rencana tersebut sudah melalui prosedur. Ia jurtru mempersoalkan terhadap Fraksi2 yang berubah sikap dalam masalah itu (Republika 5/4/2011).

Lebih dari itu Ketua DPR Marzuki Alie menilai bahwa Rakyat tidak perlu di ajak bicara terkait dengan proyek gedung baru tersebut. Karena mereka tidak paham. “ini cuma orang orang elite yang paham yang bisa membahas ini (pembangunan gedung baru), raykyat biasa tidak bisa di bawa”.. ujar Ketua DPR Marzuki Alie kepada wartawan di Gedung DPR. Jakarta, Jum’at (1/4/2011) (inilah.com 5/4/2011)

DPR = Dewan Penghianat Rakyat ?

Apakah Itu terlalu Kasar buat mereka?

saya rasa tidak, karena hal ini tidak terjadi untuk pertama kali. Dengan melihat kondisi Rakyat yang sangat kesusahan untuk mencari sesuap nasi. Pemerintah khususnya DPR malah enak enak makan uang HARAM milik rakyat.

  1. Pelantikan DPR Terpilih periode 2009-2014 menghabiskan dana RP. 11 Miliar hanya untuk acara 2 jam saja (Metro TV (7/9/2009) dana tersebut berasal dari KPU
  2. Pembuatan PIN DPR menghabiskan dana Rp. 5 juta/anggota.
  3. Masih di Acara pelantikan tersebut, Setjen DPR menganggarkan Rp. 26 miliar atau sekitar Rp. 46,5 juta/anggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan) bagi anggota terpilih yang baru dari luar jakarta (kompas.com 9/9/2009
  4. Belum menunjukan kinerjanya, DPR Plesiran ke Eropa dengan alasan study banding. Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran, Yuna Farhan, setiap kali kunjungan keluar negeri tiap anggota mendapatkan uang saku sebesar Rp. 20-28 Juta dan uang representasi US $ 2.000 (sekitar Rp. 20 juta saat itu).
  5. Dana Plesiran DPR ini membengkang dari rencana Rp. 20,9 Triliun dalam RAPBN 2011 menjadi 24.5 triliun dalam APBN 2011. Menurut FITRA (Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran) Belanja Perjalanan terus membengkak setiap tahunya. (republika 17/1/2011)

Apapun alasanya, terjadinya pembengkakan tersebut atas dasar Persetujuan DPR.. Dan pada saat tersebut, sangat jelas sekali bahwa anggaran tersebut jauh lebih besar dari anggaran JAMKESMAS 2011 yang hanya sebesar 5,6 triliun. Bahkan menurut analisa FITRA, pemerintah justru memangkas fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN 2010 menjadi 13,6 triliun rupiah di APBN 2011. Anggaran tersebut di alokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp. 209,5 miliar. Padahal secara Data di indonesia terdapat 4,1 Juta balita mengalami gizi buruk.. Artinya sekitar Rp. 50.000/balita/tahun atau sekitar Rp. 4.000/balita/bulan.

Disamping itu, seperti di ketahui bahwa akhir 2010 tercatat masih ada 31.02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini.

Alasan penghematan Anggaran, pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi. Padahal Secara Logika dengan adanya BBM naik, harga barang kebutuhan pasti akan naik.. siapa yang rugi?

Bukan hanya itu, DPR sering kali tidak peduli dengan Kepentingan rakyat. Seperti DPR mengeluarkan UU migas, UU SDA, UU Listrik, UU penanaman modal, UU BHP, UU Minerba dll. yang justru berpotensi menyengsarakan rakyat. Pasalnya UU tersebut sarat dengan nuansa Liberalisme ekonomi. Muara dari liberalisme Ekonomi adalah penyerahan kedaulatan atas sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak asing.

Oleh karena itu jangan aneh jika 90% energi telah di kuasai oleh pihak asing.

Tidak ada Iman bagi orang yang tidak amanah (HR Ath Thabrari)

Dikutip dari Berbagai sumber : Buletin dakwah Al-Islam, detiknews, kompas, inilah.com, republika

Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011