Kamis

Di Indonesia, Revolusi Cukup 2 Kali Saja

Di Indonesia, Revolusi Cukup 2 Kali Saja

(SUMBER : WWW.KOMPAS.COM)

Revolusi di negeri ini hanya dua kali. Kejatuhan Presiden Soekarno, akhirnya ditentukan dengan revolusi. Mahasiswa dan rakyat turun ke jalan Korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak. Demikian juga Presiden Soeharto, tumbangnya dengan revolusi. Mahasiswa dan massa bersatu padu. Korban pun sama berjatuhan juga. Setelah era Soeharto ; Habibie, Gus Dur, Megawati tidak ada revolusi. Dan, sekarang era SBY, perlukah revolusi? jawabannya ada yang pro dan kontra.

Adalah mantan KSAD, Jendral (Purn) Tyasno Sudarto, dalam suatu kesempatan di bulan Januari 2011 ini, melontarkan ucapan dan ide yang menohok bagi kalangan pemerintah, yaitu perlunya revolusi. Dengan alasan, apabila pemerintahan sekarang masih tidak memberikan harapan kepastian dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka revolusi jalan satu-satuny. Itulah pendapat yang pro adanya revolusi.

Pendapat yang lebih sama tapi agak moderat, disampaikan pengamat ekonomi, Dr. Rizal Ramli, bahwa pemerintahan sekarang apabila tidak mampu mensejahterakan rakyat, sebaiknya mundur, tapi tidak menggunakan kata revolusi, melainkan melalui mekanisme yang ada. MPR, misalnya.

Pernyataan Rizal Ramli itu diaminkan oleh Dr. Efendy Gozali, pengamat komunikasi politik UI, bahwa tak ada kemajuan berarti dalam pemerintahan saat ini. Tawarannya, apabila tidak mampu menyelenggarakan penyelenggaraan negara, sebaiknya diminta mundur. Lagi-lagi melalui, lembaga tertinggi negara.

Sedangkan, menurut Staf Khusus Presiden bidang Politik, Dr. Daniel Sparingga, memang pemerintahan diakui belum berhasil melaksanakan pekerjaan demi rakyat, tapi itu bukan berarti gagal, apalagi dikategorikan berbohong (disampaikan Daniel Speringga, dihadapan pengurus dan perwakilan Persekutuan Gereja-geraja Indonesia, setelah penyampaian para tokoh agama kepada pemerintah, yang menyatakan pemerintah berbohong).

Kembali, kepada pernyataan Jendral Tyasno soal revolusi. Ada yang menilai dan berpendapat, bahwa sang Jendral ini begitu tak menjabat KSAD, dan tak kunjung diberi jabatan baru oleh SBY, cenderung komentarnya menyudutkan pemerintah. Namun, ada juga pendapat berbeda, yang menyatakan bahwa apa yang disampaikan Jendral Tyasno, ada benarnya tentang pemerintahan SBY yang belum bisa mensejahterakan rakyatnya, tapi untuk revolusi masih perlu dipikirkan dengan matang dan secermat mungkin

Revolusi, bagi sebuah negara apapun modelnya, pasti akan berjatuhan banyak korban. Belum hilang ingatan kita, Tunisia pun begitu dilanda revolusi, korban dari pemerintahan yang berkuasa dan yang menumbangkannya begitu banyak. Dan, menengok peristiwa 1998 di negeri kita. Yang menumbangkan rezim Soeharto. Mahasiswa, rakyat, dan aparat pun banyak yang jatuh korban. Bahkan, tragisnya kerusuhan melanda sebagian belahan Indonesia. Tak tanggung-tanggung harga kebutuhan pokok melambung dengan tinggi. Dan, rakyat yang tak berdosa menanggung bebannya.

Lalu, jika menilik kejatuhan presiden pertama dan kedua dengan cara revolusi. Sedangkan yang ketiga sampai kelima tak sampai tamat pemerintahannya. Habibie cuman 1 tahun, Gus Dur hanya 2 tahun, Megawati melanjutkan dari Gus Dur, diberi 3 tahun. Jika SBY dijatuhkan dengan revolusi, maka nasib SBY sama dengan presiden sebelumnya tak sampai lima tahun atau satu periode, walau syarat satu peride telah lewat, tapi dua periode ini baru berjalan 15 bulan.

Sekali lagi, revolusi bila itu jadi dilakukan, sangat mahal harga yang harus dibayar. Selain nyawa, keterpurukan berbagai bidang menjadi langganan yang tak bisa dielakan. Penjarahan, sudah pasti menjadi pemandangan yang bisa disaksikan dengan kasat mata. Jeritan, tangisan dan kriminalitas seakan bersahutan memanggilnya. Jadi, untuk revolusi, mungkin rakyat kita masih trauma. Namun, jika gerakan moral tanpa ada revolusi mungkin banyak simpatinya.


Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar