PIDATO BUKAN NUBUAT!
Is truth contingent on the way we speak? (Kubalkova , Onuf, dan Kowert)
Dalam beberapa waktu yang lalu sering kali kita menyaksikan pemimpin negeri ini berpidato. Susilo Bambang Yudhoyono berpidato dalam menyikapi kasus Bank Century pada November 2009. Mengikuti SBY, pada maret 2010 Boediono juga berpidato kepada kita untuk kasus yang sama. Beberapa waktu yang lalu juga, kita menyaksikan Megawati Soekarnoputri memberikan pidato yang menggugah hati dan emosi dalam Kongres ke-3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali. Apakah makna pidato itu sesungguhnya bagi perjalanan nasib suatu negeri? Apakah pidato mengubah nasib suatu negeri?
Pidato tentu saja adalah kumpulan rangkaian kata yang sengaja dibuat untuk disampaikan kepada sekumpulan orang. Namun, karena yang mengucapkannya pemimpin politik, pidato bukan pula sekedar kelihaian berkata – kata di depan orang banyak. Pidato juga adalah bagaimana “realitas dunia” menyampaikan dirinya kepada pemimpin yang melakukan pidato dan bagaimana pemimpin yang berpidato itu mencoba memecahkan persoalan yang muncul dari “realiatas dunia” yang dipahaminya itu. Untuk menjelaskan secara lebih sederhana, marilah kita memulainya dengan contoh kasus pidato Boediono dalam menanggapi kausus Bank Century.
Dalam pidatonya, Boediono menyatakan bahwa Bank Century dapat diibaratkan dengan fenomena rumah yang terbakar dalam suatu kampung. Pemilik rumah memang sengaja bermaksud untuk membakar rumahnya. Inilah “realitas dunia” yang tersampaikan kepada dan dipahami oleh Boediono dalam kasus Bank Century. Dengan metafora tentang “rumah terbakar” tersebut, Boediono lebih jauh menyatakan, bail out terhadap Bank Century merupakan tindakan seperti pemadam kebakaran. Penalangan bukan semata – mata untuk menyelamatkan “rumah” yang terbakar itu, tetapi agar rumah – rumah lain yang berada dikampung itu tidak ikut terbakar.
Namun apakah demikian halnya? Tidakkah ada metafora lain? Misalanya dapat saja orang menyatakan bahwa yang terbakar adalah kandang kambing atau pilihan lainnya dapat saja seseorang menyatakan metafora “rumah terbakar” itu memang ada, tetapi hal itu terjadi karena prosedur standar baku dan aturan hukum untuk mencegah suatu “kebakaran” telah diabaikan?
Karena itu terlepas dari betapa menariknya pun tatanan kata yang diucapkan, keraguan seperti inilah yang menyebabkan suatu pidato tidak dapat dengan sendirinya diterima oleh publik. Itu sebabnya pula kita selalu mendengar berbagai spekulasi yang muncul diseputar kasus – kasus yang ada.
Pertanyaan misterinya kemudian adalah mengapa kadang publik lebih tertarik dengan “relaitas dunia” yang tidak diucapkan dalam pidato? Misalnya, seperti rumor berseliweran dalam kasus pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati daripada menerima pernyataan resmi Presiden sebagai kepala pemerintahaan? Bagaimana cara agar pidato seorang pemimpin politik dapat menjadi suatu pegangan, serta tuntunan bagi orang banyak? Jawabannya adalah tentu saja bukan sekedar dengan meminta seorang spin doctor untuk menulis pidato yang baik dan meyakinkan. Dan juga bukan dengan sekedar menggunakan alat canggih seperti teleprompter sehingga untaian kata yang diucapkan tertata dengan baik, runtut, indah, santun, dan terkesan tidak tengah memebaca teks pidato. Jika hanya mengandalkan kecanggihan teknis seperti ini, suatu pidato akan sukar sekali untuk meyakinkan publik.
Ada 3 kemungkinan mengapa publik lebih tertarik untuk mencari yang tidak diucapkan dari pada yang diucapkan dalam suati pidato. Penyebabnya adalah karena “realitas dunia” yang dikonstruksikan oleh pemimpin yang berpidato dianggap oleh publik sebagai realitas yang semu atau palsu (pseudo reality). Yang berpidato, melihat “realitas dunia” itu sangat berbeda dengan “realitas dunia” yang dipahami oleh publik. Bukankah ada ungkapan yang menyatakan, “apa yang kita lihat ditentukan oleh tampat dimana kita berdiri”.
Penyebab lainnya adalah mungkin karena yang telah diucapkan melalui pidato berbeda dengan yang dilakukan. Jika ini berlangsung sering, pidato tentu saja akan kehilangan maknanya. Misalnya ketika para petinggi negara menyatakan bahwa penegakkan hukum sangat mendesak untuk dilakukan, tetapi dalam kenyataan lobi – lobi politik yang kemudian muncul, seperti pembentukan sekber koalisi, untaian kata yang diucapkan dalam pidato tidak akan menuai hasil seperti yang diharapkan.
Penyebab terakhir adalah karena yang diucapkan melalui pidato sangat normatif dan tidak disertai dengan kemampuan untuk melakukan tindakan. Para pemimpin politik negeri ini haruslah dapat membedakan dua hal bahwa menyampaikan suatu pidato dan membuat keputusan adalah dua hal yang berbeda.
Menyampaikan suatu pidato pada dasarnya bertujuan untuk menggugah emosi publik, sedangkan membuat keputusan adalah menggerakkan publik untuk melakukan suatu otoritas yang mengikat. Pidato tanpa pernah membuat kepututsan hanya akan memuaskan bagi para pemimpin yang terpesona dengan citra dan panggung.
Pidato karena itu pula memiliki batas – batas magisnya untuk memukau publik. Para pemimpin politik negeri ini haruslah menyadari bahwa ketika mereka melakukan pidato, mereka bukan Sang Pencipta yang tengah bersabda. Pidato bukanlah suatu nubuat atau suatu kun fayakun yang diucapkan oleh Sang Ilahi ketika menciptakan alam semesta dan isinya ini. Terlebih lagi semangat zaman dimana kita kini hidup telah melahirkan sekumpulan warga negara rasional yang kritis yang tidak serta – merta menerima apa saja yang diucapkan oleh para pemimpin politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar