Selasa

Dijadikan Alat Politik, Prestasi PSSI Hancur

Dijadikan Alat Politik, Prestasi PSSI Hancur
(SUMBER : WWW.KOMPAS.COM)

Hancurnya prestasi sepak bola Indonesia dinilai merupakan dampak dijadikannya sepak bola alat kepentingan politik.

Hal itu disampaikan oleh pengamat sepak bola Andi Bachtiar Yusuf dalam diskusi bertajuk "Sepakbola dan Peradaban: Melawan Status Quo di PSSI" di Kantor KontraS, Minggu (13/2/2011). Dalam diskusi ini hadir pula Sejarawan Universitas Indonesia, JJ Rizal dan budayawan Romo Benny Susetyo.

"Sepak bola kita semakin terbelakang karena digunakan alat kepentingan politik. Liga profesional juga seharusnya tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Kalau ada tiga tim yang kuat finansialnya biarkan saja berkompetisi, " tegas Andi.

"Padahal dulu, Jepang belajar dari liga perserikatan. Buktinya, sekarang mereka bisa maju," lanjutnya. Dikatakan Andi, sepak bola juga hancur tidak terlepas dari ketidakpedulian terhadap kemajuan sepak bola itu sendiri.

Pria yang berprofesi sebagai penulis ini mencontohkan ketidakpedulian terhadap sepak bola dengan terjadinya penggusuran beberapa stadion di Jakarta. "Saya enggak percaya sepak bola bisa maju kalau tidak ada yang peduli. Stadion UMS dan Menteng udah enggak ada. Sekarang Stadion Lebak Bulus mau digusur. Bagaimana Indonesia mau jadi tuan rumah Piala Dunia bila tidak diperhatikan infrastrukturnya. Masa suporter Jerman dan Brasil berantem gara-gara enggak ada angkot di Piala Dunia," bebernya.

Andi juga mengaku tidak yakin dengan pergantian Ketua Umum PSSI bisa membawa perubahan terhadap sepak bola nasional. Yang perlu dibenahi, kata Andi, adalah mental bangsa. "Kalau Nurdin Halid turun bisa ada perbaikan. Sama seperti Soeharto apakah ada perubahan," tegasnya.


Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

PUSARAN ENERGI KEKUASAAN

PUSARAN ENERGI KEKUASAAN

Secara sederhana,ilmu politik memperkenalkan arti politik seperti yang diungkapkan ilmuwan klasik, Harold D Laswell bahwa politik hanyalah soal siapa, mendapat apa,dan dengan cara bagaimana. Ingin rasanya menolak pandangan Laswell ini. Apa betul politik dijalankan tanpa misi asketis sama sekali, tanpa misi kemanusiaan yang agung? Apa betul kemanusiaan bisa dan sudah dibunuh oleh keinginan untuk selalu berkuasa dan kemudian menindas kemanusiaan dari manusia – manusia lain?

Teori tentang kekuasaan dalam ilmu politik telah mengingatkan bahwa kekuasaan itu punya kecenderungan korup. Dan kekuasaan yang absolut, sudah pasti korup. Inilah tampaknya yang akan menjadi gejala kekuasaan di Indonesia saat ini, jika kekuasaan itu bertumpuk disatu tangan atau kelompok elite penguasa politik atau gabungan partai politik berkuasa. Di sini, seorang presiden memiliki peluang untuk menghindari sebagai orang yang ingin memegang kekuasaan dengan absolut.

Seorang presiden sebetulnya akan “cantik” jika mampu memainkan peran, seperti modifikasi hukum kekekalan energi. Hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi tidak hilang, hanya berubah bentuk jadi energi yang lainnya. Begitu juga dengan kekuasaan,tampaknya tidak akan berkurang atau hilang. Kekuasaan itu hanya berubah jumlah dan pengaruhnya dari satu tangan ke tangan lain.

Kekuasaan terkadang berpencaran sehingga menimbulkan hubungan kekuasaan yang punya kekuatan seimbang. Jika pihak lain tidak melakukan kerja politik, seperti memenuhi harapan rakyat dan melakukan kaderisasi, atau tidak memelihara jaringan pendukungnya, suara pendukung akan bisa direbut oleh partai lain yang menginginkan dukungan untuk diubah menjadi kekuatan yang punya legitimasi untuk membuat keputusan

Semuanya terkadang mengalir secara alami, tekadang juga dilakukan dengan pemaksaan, sehingga peta kekuatan berubah dan bahkan kekuatan itu bisa menumpuk disatu tangan penguasa atau kelompok elite. Pemaksaan disini jangan dibayangkan hanya sekedar dilakukan dibawah ancaman ujung laras senjata atau tajamnya belati, tetapi juga bisa dilakukan dengan iklan citra diri yang terus menerus menghajar kesadaran publik dan pengaruh yang dibangun dalam sebuah reputasi kepemimpinan. Paksaan ini juga bisa dilakukan dengan politik uang atau janji kesejahteraan yang tak kunjung terwujud.

Pada saat sebuah partai atau elite politik mampu menumpuk kekuasaan dalam satu tangan, ia akan mempunyai daya magnet yang luar biasa untuk menarik kekuatan politik lain bak bola salju yang menggelinding dari atas bukit menjadi kekutan yang semakin besar. Filsuf Nietzsche mengatakan, apa yang tidak berhasil menumbangkan penguasa, ia akan menjadi pendukung penguasa. Langkah seperti ini adalah sebuah keniscayaan. Jadi pertanyaannya adalah apakah semua pemimpin dan kader yang ada dan muncul dalam partai – partai adalah penganut demokrasi sejati atau sekedar peniru perilaku elite partai politik yang sebagian besar hanya mengejar kekuasaan, bangsa ini akan jadi saksinya.

Bidang Hikmah 2010/2011