Kamis

MENUNAIKAN AMANAT : KEKUASAAN DAN JABATAN

MENUNAIKAN AMANAT : KEKUASAAN DAN JABATAN

Ketika Nabi SAW membebaskan kota Makkah, dan menerima kunci-kunci Ka’bah dari Bani Syaibah, kunci-kunci tersebut diminta oleh Al-Abbas supaya berhimpun padanya, dan antara kemuliaan tugas memberi minum korang yang haji dan juru kunci Baitullah, kemudian Nabi menyerahkan kunci-kunci tersebut kepada Bani Syaibah. Karena itu, wajib atas pemimpin supaya mengangkat untuk semua tugas dari tugas-tugas umat Islam, orang yang paling layak (ashlah) untuk tugas tersebut. Nabi SAW, bersabda : “Barangsiapa memimpin sesuatu dari urusan umat Islam, lalu ia mengangkat seseorang padahal ia melihat ada orang yang lebih layak daripadanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”.

Dalam riwayat lainnya, Nabi Shallahi Alaihi Wa Sallam, bersabda : “Barangsiapa mengangkat seseorang pada suatu jabatan padahal dia melihat pada jabatan itu ada orang yang lebih diridhai Allah daripadanya, maka dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta kaum beriman”. (HR, Al-Hakim dalam al-Musdharak).

Ibnu Umar meriwayatkan bapaknya, bahwa Umar Ibn Khaththab RA, berkata,

"Barangsiapa memimpin urusan umat Islam, lalu ia mengakat seseorang karena mawaddah (hubungan kasih sayang/kedekatan) atau karena hubungan kekerabatan diantara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta umat Islam”.

Maka, ketika Umar Ibn Khaththab, wajib mencari orang yang berhak mengisi berbagai jabatan, sebagai wakilnya untuk ditempatkan di berbagai negeri, seperti gubernur, yang merupakan wakil penguasa, qadhi, panglima pasukan, pejabat yang mengurusi harta negara (para menteri), pencatat, penjaga, pegawai pemungut pajak dan zakat serta harta-harta milik umat Islam lainnya. Untuk semua tingkatan jabatan diangkat dan dipilih orang yang dilihatnya paling layak dan tepat. Bahkan, para imam shalat, muadzin, pembaca (al-Qur’an), pengajar, amir haji, pos, intelijen, penjaga harta negara, penjaga beteng, para pengawal beteng dan kota, kepala regu pasukan besar dan kecil, kepala suku, dan kepala desa.

Setiap orang yang memimpin urusan umat Islam, adalah orang paling kompeten (ahli/mengerti) untuk jabatannya. Umar RA tidak boleh mendahulukan seseorang, karena ia meminta jabatan, atau lebih dahulu meminta, bahkan karena itu menjadi faktor untuk ditolak.

Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya kami tidak menyerahkan urusan kami ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula pada orang yang berambisi mendapatkannya”.

Beliau berkata kepada Abdurrahman bin Samurah : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah meminta jabatan. Sebab jika kamu diberi jabatan itu dengan meminta, maka bebannya diberikan kepadamu, sedangkan jika kamu diberi jabatan tanpa meminta-minta niscaya kamu akan ditolong”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Selanjutnya, Beliau bersabda : “Barangsiapa yang mencari jabatan qadhi (hakim) dan meminta bantuan supaya memperolehnya, maka semua itu diserahkan kepadanya, dan barangsiapa yang tidak meminta jabatan hakim dan tidak meminta bantuan supaya memperoleh jabatan itu, maka Allah menurunkan kepadanya malaikat yang menuntun langkahnya”. (HR. Ahlus Sunan).

Apabila jabatan itu diberikan bukan kepada orang yang lebih berhak dan lebih berkompeten, tetapi diberikan kepada selainnya, karena faktor kekerabatan diantara keduanya, karena faktor persahabatan (mawali), kesamaan negeri (suku), mazhab (ideologi), karena suap yang diterima darinya, baik berupa harta atau manfaat, atau sebab-sebab lainnya, atau karena kedengkian dalam hatinya kepada orang yang lebih berhak (menduduki jabatan), atau karena permusuhan diantara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman.

Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar”. (al-Anfal : 27-28)

Itulah prinsip-prinsip di dalam Islam, yang menjadi mabadi’ bagi para pemimpin yang memilih, orang-orang yang akan melaksanakan amanah. Kemudian, di era modern ini, seperti sekarang ini, di mana kekuasaan/jabatan itu diperebutkan oleh berbagai golongan, kelompok, partai dan organisasi, dan bahkan mereka terang-terangan meminta jabatan, dan kemudian dikenal dengan ‘power sharing’ (pembagian kekuasaan), serta dikenal dengan : siapa mendapatkan apa. Tanpa memperhatikan kompetensi/sikap amanah, dan jabatan itu dibagi-bagi berdasarkan kedekatan (partai/ideologi/kekerabatan, kronisme), kemudian muncul berbagai kemelut, yang merusak sistem kehidupan, yang berdampak sangat luas bagi rakyat, dan terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sebagai penyakit yang sangat akut bagi bangsa, serta merusak masa depannya.

Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

KENISCAYAAN POLITIK DAKWAH

KENISCAYAAN POLITIK DAKWAH

Pelaksanaan syaria’t Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam sudah barang tentu membutuhkan seluruh komponen masyarkat yang pro-aktif berjuang untuk menegakkannya. Khususnya para politisi kita. Karena syari’at Islam adalah sebuah cita-cita luhur yang menjadi keniscayaan bagi setiap Muslim untuk serius mewujudkannya. Artinya ia bukan hanya tugas Dinas Syari’at Islam, para ulama dan santri, aktifis dakwah atau ormas-ormas Islam lainnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab para politisi dari lintas parpol, baik parpol Islam maupun nasionalis.

Satu-satunya cara mewujudkannya adalah dengan dakwah, sementara saat ini pemahaman kebanyakan elit dan masyarakat kita tentang dakwah sangat rancu. Dakwah dipandang tidak pantas memasuki wilayah politik, tidak pantas dilakoni oleh para politisi. Alhasil terjadilah dikotomi antara dunia dakwah dengan politik. Padahal dalam Islam tidak ada pemisahan antara dakwah dan politik. Dakwah oleh para politisi akan semakin memudahkan jalan menuju penerapan Syari’at Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini karena posisi sebagai politisi adalah posisi yang sangat vital, ruang interaksinya dengan masyarakat sangat luas, juga didukung oleh fakta bahwa para politisi merupakan figur publik yang lebih sering muncul ke permukaan.

Dengan demikian, dakwah dapat berperan membantu menyelesaikan problematika masyarakat, suaranya bisa sampai kepada para pengambil keputusan dan kebijakan dan menyampaikan argumen kepada para pemegang amanah dan tanggung jawab. Mengingat fungsi dan peran dakwah yang demikian penting dan menentukan, maka pengertian dakwah dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, harus dipahami secara tepat dan benar, sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Sirah Nabawiyah yang berisikan petunjuk bagaimana dakwah itu dilakukan, sehingga menghasilka pribadi-pribadi yang istiqamah dan tangguh serta terbentuknya tatanan masyarakat yang Islami yang dipayungi oleh sistem syari’at yang kaffah. Salah satu masalah kontemporer yang terus dikaji adalah keterkaitan dakwah dengan politik.

Selama ini kita melihat ada kesalahan paradigma berpikir masyarakat kita yang dominannya sekuleristik hingga membuat mereka cenderung apatis akan hadirnya nilai-nilai Islam dalam iklim perpolitikan Indonesia secara umum dan Aceh khususnya. Melihat realitas ini kita perlu mencoba membedah kemungkinan termanifestasinya wajah politisi kita untuk merangkap dan menjelma menjadi pilar-pilar kebangkitan Islam yang mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berpolitik, bukan sebatas hanya pada ritual ibadah semata.

Dapat dilihat, bahwa dari partai apapun dia berasal semua politisi muslim kita sangat memungkinkan menjadi juru dakwah, sangat memungkinkan menjadi teladan umat serta yang terdepan dalam mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang universal. Islam adalah agama dakwah yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Predikat khaira ummah (umat yang paling baik dan pilihan) hanyalah diberikan Allah SWT kepada kelompok umat yang aktif terlibat dalam kegiatan dakwah.

Disamping itu, pertolongan Allah SWT hanya akan diberikan kepada mereka yang patut mendapatkannya, yaitu mereka yang dalam posisi, jabatan pekerjaan, dan keahlian apapun selalu menegakkan shalat, mengeluarkan infak, zakat, aktif melakukan kegiatan amar ma'ruf nahi mungkar atau dakwah (Al-Hajj: 40-41). Melihat esensi dari nilai-nilai dakwah serta tuntutan dari nilai-nilai politik, maka hal ini memiliki pandangan bahwa pada dasarnya antara dakwah dan politik memiliki kesamaan yang sangat jelas dalam kacamata Islam, tentunya politik yang diaktualisasikan sesuai nilai-nilai Islam yang universal. Mungkin kedengaran sedikit aneh karena selama ini kita melihat secara umum masyarakat memiliki pandangan bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, namun ketika politik itu dijalankan sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah maka itulah politik Islam, dan memang suatu keniscayaan bagi umat Islam untuk menjalankan sistem perpolitikan sesuai tuntutan Islam.

Sebagai contoh peran dakwah dalam politik , pada masa kejayaan umat Islam era Khalifah Abbasiah, hingga Turki Usmani dan Kerajaan Islam Aceh masa Sultan Iskandar Muda, semua aktifitas dakwah Agama ditopang oleh para pemegang kekuasaan atau pelaku politik, bahkan mereka sendiri juga merupakan politisi-politisi yang sekaligus sebagai da’i, sehingga kita tidak heran bagaimana jayanya Islam dan kaum Muslimin ketika itu.

Namun, realita sekarang ini tidaklah sesuai dengan idealita. Dakwah dan politik dipahami sebagai dua ‘kata’ yang kontra oleh sebagian masyarakat. Hal itu karena politik dipahami sebagai aktifitas dunia, sedang dakwah dipahami sebagai aktifitas akhirat. Yang pada gilirannya dipahami bahwa dakwah tidak pantas memasuki wilayah politik, dan politik haram memasuki wilayah dakwah. Dakwah adalah pekerjaan para ustadz, dan politik pakerjaan para politisi. Jika seorang ustadz yang menjadi politisi, ia harus menanggalkan segala atribut dan perilaku ke-ustadz-annya, dan harus mengikuti atau beradaptasi dengan perilaku para politisi. Demikian pula apabila seorang politisi menjadi ustadz ia pun harus menanggalkan baju politiknya, dan jika tidak, ia akan tetap dicurigai menggunakan agama sebagai alat politik.

Secara operasional, bahwa dakwah adalah politik dan politik adalah dakwah dapat dipahami dengan baik oleh setiap muslim apabila pertama, memahami universalitas Islam; kedua, memahami risalah penciptaan manusia; dan ketiga, mengatahui cara merealisasikan risalah tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga setiap muslim harus menjadi da’i sekaligus menjadi politisi. Karena politik bagian dari keuniversalan Islam, maka setiap muslim harus meyakini bahwa Islam memiliki sistim politik yang bersumber dari Allah, dicontohkan oleh Rasulullah dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafussaleh, sesuai dengan dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa. Berikutnya setiap muslim pun harus siap menjalankan sistem tersebut, dan tidak akan menjalankan sistim yang lain, karena dikhawatirkan akan tergelincir pada langkah-langkah syaitan.

Itulah bagian dari pengertian firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syatan. Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh yang nyata.” (QS. Al-Baqarah: 208). Dengan memahami ayat ini lebih mendalam kita pasti akan menanti hadirnya politisi dakwah sejati di negeri ini yang berasal dari lintas parpol.

Wallahu a’lam bisshawab.

Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

MENGHADANG PATRONASE POLITIK

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

MENGHADANG PATRONASE POLITIK

(sumber : kompas)

Salah satu warisan buruk dari rezim Orde Baru dalam bangunan struktur politik kita setelah 12 tahun era reformasi adalah budaya patronase politik yang masih melekat kuat.

Pada masa lalu, Soeharto mengelola birokrasi pemerintahan, organ politik dan sosial secara sentralistik dengan membangun patron-client menyusur ke bawah untuk mengukuhkan kekuasaan diri dan keluarganya. Ironisnya, pada saat ini kita menyaksikan kecenderungan dari figur – figur elite politik utama yang pada masa lalu memerankan sebagai tokoh reformis, sekarang mereplikasi karakter politik Soeharto dengan lebih canggih.

Berkaitan dengan tumbuh dan menyebarnya virus patronase politik di dalam arena politik kita sekarang, kita saat ini jadi saksi bagaimana para elite – elite politik menerapkan patronase politik di rumah – rumah partai politik (parpol) mereka. Gejala tersebut terbaca dengan jelas di mata publik, misalnya pada saat Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lalu saat elite utama dalam partai tersebut mengamankan struktur pusat partai demi kepentingan dinasti mereka.

Begitu juga dengan Kongres Partai Demokrat yang lalu, salah satu indikasi bergulirnya praktik patronase terlihat pada tampilnya sang putra presiden, tidak saja untuk men-support, tetapi juga menekankan keidentikan dukungan terhadap salah satu calon dengan loyalitas terhadap SBY. Di tengah kondisi partai yang masih kuat bergantung pada figur SBY, tampilnya putra beliau mendukung salah satu calon merupakan alamat buruk bagi kehendak memodernisasi partai yang tengah bersemi dalam partai tersebut. Sementara, disisi lain saat ini tengah terbangun energi politik di ruang publik yang tengah menunggu partai yang otonom, solid, dengan pelembagaan yang kuat, dan tidak terlalu bergantung pada figur sentral.

Kemunduran

Sungguh menyaksikan kondisi poltik seperti ini, suasana politik kita sekarang sepertinya mundur lebih dari seratus tahun yang lalu. Dalam sejarah pergerakan nasional, gelar – gelar ningrat aristokratik dan nama besar trah keluarga bukanlah menjadi kebanggaan bagi kaum pergerakan. Bahkan, menggunakan istilah Abdul Rivai (1901) istilah bangsawan “oesoel” menjadi sebuah cibiran dan penanda buruk bagi kehadiran kaum ningrat yang tampil tidak dengan kapasitas personal dan pengabdian pada rakyat yang dibenturkan dengan istilah bangsawan mereka.

Selanjutnya, sejarah menjadi saksi bagaimana tampilnya sebagian kaum priayi yang membuang jauh atribut aristokratiknya bersama aktivis yang berlatar rakyat menciptakan dan membangun karakter politik Indonesia yang penuh dengan integritas dan patut dibanggakan. Apabila kita renungkan dalam – dalam terkait dengan masa depan politik dan kemaslahatan rakyat bersama, terlalu besar hal yang dikorbankan untuk proyek merawat patronase politik di Indonesia.

Tiga hal

Setidaknya tiga hal penting yang harus direnungkan oleh para elite partai terkait dengan motif penguatan politik dinasti. Pertama, seperti diutarakan Herbert Kitschelt (2004) dalam karyanya, Parties and Political Intermediation, fungsi partai politik sebagai rumah bagi proses konsolidasi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang terkait dengan tindakan kolektif dan pilihan – pilihan sosial dari anggotanya dapat berjalan efektif dalam lingkungan internal yang kondusif.

Kemampuan parpol untuk menjalankan fungsinya dalam mencapai tujuan – tujuan politiknya tentu sangat ditentukan oleh kapasitas dari kader – kader politik, bukan dari orang – orang yang hanya mengandalkan pada restu dan cantelan politik dari figur elite utama. Pendeknya, menurut Kitschelt, suasana internal yang menekankan pada perekrutan dan mobilisasi politikber dasarkan kapasitas dan kapabilitas kader menjadi penentu suksesnya konsolidasi agenda publik. Kuatnya patronase dan oligarki parpol akan menghambat partai berperan menjadi artikulasi kepentingan publik dan hanya mengartikulasikan kepentingan elite politik saja.

Kedua,ancaman bagi patronase dalam parpol adalah virus ini akan membelokkan parpol untuk memperjuangkan tujuan utama dari aktivitas berpolitik itu sendiri. Merujuk tradisi politik Aristotelian, Colih Hay (2007) dalam karyanya, Why We Hate Politics, menguraikan dengan gamblang bahwa ketika arena politik bekerja hanya untuk melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elite – elite politik, proses tersebut akan berubah irasionalitas kolektif.

Rakyat dan konstituen tidak akan pernah ditempatkan menjadi mitra poltik, tetapi hanya menjadi objek dan manipulasi dari kepentingan segelintir elite politik yang berhulu dan berhilir pada politik dinasti. Dari dinasti, oleh dinasti, dan untuk dinasti, bukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Saat publik makin dewasa, partai – partai politik yang masih menekankan pada karakter patronase politik ini, pelan – pelan akan kehilangan dukungannya di mata publik.

Ketiga, menguatnya patronase politik hanya akan memunculkan sikap apatisme dan skeptisme di kalangan kader – kader partai yang pada awalnya memiliki integritas dan komitmen yang kuat kepada parpol. Tidak ada motivasi dan hastrat politik yang kuat bahwa komitmen dan perjuangan mereka untuk bekerja dan menyatu dengan rakyat akan mendapatkan apresiasi yang setara. Fenomena ini akan melesukan dinamika dan pemudaan pelembagaan parpol kita ke depan. Kader partai tidak terpacu untuk membangun jejaring akar rumput untuk mengonsolidasikan antara penyambung mesin partai dan aspirasi rakyat, mereka hanya sibuk menjadi penyambung kepentingan elite dan pelapor pada elite politik.

Apabila kita merenungkan persoalan tersebut diatas, agaknya masih ada kesempatan bagi para elite politik di partai – partai politik, apakah ia akan memilih figur yang bekerja keras untuk mengonsolidasikan partai dan tidak bergantung pada restu pemimpin, ataukah memilih kader penyambung dan pelapor kepentingan elite saja. Salah satu pelajaran dari runtuhnya Soeharto 12 tahun yang lalu, bukankah ia dijatuhkan oleh para Brutus yang sebelumnya hanya meminta petunjuk dan melaporkan hal – hal yang baik kepada dirinya.


Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011

Mafia Hukum : Buah Busuk Sistem Jahiliyah

Mafia Hukum : Buah Busuk Sistem Jahiliyah

Ribut-ribut KPK ,Kejaksaan , dan kepolisian seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita. Pertarungan antar instansi hukum ini membongkar kebobrokan tubuh mereka sendiri. Kita melihat bagaimana instansi ini yang seharusnya menjadi penegak hukum , justru menjadi pelanggar hukum. Korupsi, suap-menyuap, makaler hukum, mafia peradilan justru bersarang ditubuh mereka sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa dan dipercaya menegakkan keadilan dan memberantas kejahatan, sementara tubuh mereka penuh dengan penyakit yang menjijikkan itu ?

Kondisi sekarang , pernah digambarkan Rasulullah saw. Zaman yang penuh dengan penipu dimana orang tolol diserahi mengurus urusan umat. Sabda Rosulullah : “Akan datang kepada manusia zaman penuh penipu. Ketika itu orang dusta dibenarkan,sebaliknya yang benar didustakan; orang yang berkhianat diberi amanat, dan sebaliknya yang dipercaya dikhianati. Ketika itu yang berbicara adalah ar-Rawaibidhah.” Ketika ditanya tentang ar-rawaibidhah , Rosulullah saw menjawab mereka adalah orang tolol yang diserahi untuk mengurusi urusan umat.”

Apa yang terjadi sekarang merupakan bukti kebobrokan dari hukum jahiliyah yang bersumber dari ideologi jahiliyah yakni kapitalisme. Kapitalisme telah mencampakkan agama hanya untuk urusan individual, ritual dan moralitas. Sekulerisasi yang menjadi aqidah ideology ini telah membuat agama disempitkan menjadi sekedar urusan-urusan individual. Sementara untuk masalah politik, ekonomi, sanksi hukum, dan urusan public lainnya diserahkan kepada hawa nafsu manusia. Apa yang kemudian terjadi ? Baik dan buruk dalam masalah publik kemudian diserahkan kepada hawa nafsu manusia dengan asas manfaat untuk kesenangan jasadiyah/materi .

Asas manfaat yang untuk kesenangan jasadiyah ini kemudian mendorong sikap yang materialistik. Dimana semuanya diukur oleh materi baik berupa harta maupun jabatan. Kebahagian diukur oleh banyaknya materi yang dimiliki. Materi pun kemudian menjadi dewa yang menjadi tujuan hidup. Tidak lagi melihat halal dan haram, apakah merugikan rakyat atau tidak, apakah menghancurkan negara atau tidak, demi mengejar materi, semuanya dilanggar. Bahkan membunuh sekalipun tidak masalah untuk mengejar materi .

Manusia menjadi makhluk buas dan rakus yang mengerikan sekaligus menjijikkan. Inilah pangkal dari mafia peradilan dan maraknya korupsi. Dalam kondisi seperti itu, wajarlah kemudian pemilik modal menjadi raja. Cukong-cukong kapitalis yang memiliki modal banyak bisa mengatur segalanya dengan uang. Mulai dari jaksa, hakim, polisi, sampai aparat KPK bisa diatur oleh orang seperti Anggodo. Tentu saja dengan kekuatan modalnya.

Tidak berhenti sampai disana, sistem demokrasi melegalkan kebobrokan ini dengan menciptakan negara korporasi. Negara dimana elit politik dan pemilik modal menjalin hubungan simbiosis mutalisme yang saling menguntungkan antar mereka tapi merugikan rakyat. Sistem demokrasi yang dikenal mahal membuat pemilik modal sangat berkuasa dan sangat dibutuhkan untuk mendukung kemenangan elit politik. Setelah berkuasa, sebagai balas budi, elit politik baik di legislatif maupun eksekutif membuat kebijakan yang menguntungkan pemilik modal. UU yang kemudian terbukti menjadi jalan bagi perampokan kekayaan negara oleh kekuatan asing sekaligus merugikan rakyat.

Hal penting lain akibat sistem sekuler-kapitalis ini adalah hilangnya rasa taqwa berupa ketaatan kepada Allah SWT dan rasa takut untuk berbuat maksiat. Sikap tidak mau diatur oleh hukum Allah SWT dalam masalah public, telah membuat ketaqwaan tidak mendapat tempat dalam masalah politik, hukum, atau ekonomi.

Bahwa bila benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem Sekuler – Kapitalistik ini. Sebagai gantinya adalah sistem syariah yang secara pasti senantiasa akan mengkaitkan semua derap hidup manusia di semua aspek kehidupan dengan keimanan kepada Allah SWT, dzat Maha Melihat dan Maha Mendengar. Selamatkan Indonesia Dengan Syariah. Bersihkan Indonesia dari Sistem dan Birokrat yang korup!!

Bidang Hikmah PK IMM FE Jaksel 2010/2011